Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘kekerasan’

Kita masih belum juga bisa memahami mengapa kekerasan demi kekerasan terus berlangsung di negeri ini. Belum reda sebuah aksi kekerasan tertangani, sudah muncul kasus kekerasan lain yang jauh lebih pelik dan kompleks. Terakhir, Jumat pagi, 17 Juli 2009, sekitar pukul 07.45 dan 07.48 WIB, dua bom meledak di dua tempat yang berbeda pada saat yang hampir bersamaan, yaitu Hotel JW Marriott di kawasan Mega Kuningan dan Hotel Ritz Carlton di kawasan SBCD. Akibatnya jatuh puluhan korban luka dan beberapa korban tewas, sebagiannya adalah warga asing. Insiden ini jelas makin memperpanjang daftar kasus teror bom yang pernah mengoyak imaji sebagai bangsa yang santun, terhormat, dan bermartabat.

Berikut ini beberapa rekaman video dari youtube yang memperlihatkan kronologi tragedi memilukan itu.





Sebagai bangsa yang sudah lama merdeka, seharusnya kita bisa banyak belajar dari kasus-kasus kekerasan yang pernah terjadi. Upaya serius untuk menanganinya perlu dilakukan secara komprehensif dan tidak parsial.

Banyak kalangan berpendapat bahwa aksi teror bom ini sangat erat kaitannya dengan doktrin Islam garis keras yang konon suka menggunakan budaya kekerasan sebagai media jihad dalam platform perjuangannya. Hmmm … sepanjang pemahaman awam saya, Islam tak pernah mengajarkan kekerasan. Bahkan, Islam selalu berupaya mengajarkan nilai kasih sayang kepada sesamanya. Ini artinya, dengan dalih apa pun, Islam tak akan pernah menolerir kekerasan di sebuah negeri yang sudah lama merdeka. Kalau toh itu benar dilakukan orang yang memiliki doktrin garis keras atau apa pun istilahnya, mestinya bukan Islam yang dituding, melainkan pelakunya.

Kita berharap, semoga teror bom yang mengguncang Jakarta menjadi peristiwa tragis yang terakhir kalinya, dan menjadi starting point bagi negeri ini dalam meretas budaya kekerasan yang belakangan ini mulai menggejala di berbagai lapis dan lini kehidupan. Apa pun alasannya, kekerasan dan teror hanya akan menumbuhkan segudang konflik yang akan terus melahirkan rentetan konflik-konflik berikutnya. ***

Read Full Post »

tragedi mei 98Setiap memasuki bulan Mei, memori kita belum juga bisa melupakan peristiwa pahit yang terjadi 11 tahun silam. Nurani kita benar-benar terluka akibat meruyaknya aksi kekerasan yang –disadari atau tidak– telah tumbuh menjadi “bahaya laten”. Kita bisa berbuat demikian biadabnya terhadap bangsa sendiri. Agaknya, bangsa kita telah lama terkurung dalam tempurung –meminjam istilah Nurcholish Madjid– “kebangkrutan sosial” sehingga menjadi gelap mata dan gampang kalap. Sorotan dunia internasional pun makin tajam membidikkan stigma sebagai sebuah bangsa yang paling sering melanggar HAM terhadap sesama warga bangsa. Namun, nyali kita menjadi ciut ketika bangsa ini dihina dan dilecehkan oleh negeri jiran.

Sungguh, Tragedi Mei 1998 telah meluluhlantakkan basis-basis kemanusiawian kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. Dari dalam luluh-lantak, dari luar hancur berkeping-keping. Lagi-lagi, saya diingatkan oleh lirik tragis sahabat saya, Budi Maryono:

Seandainya Garuda Pancasila bisa menangis

Kita akan tenggelam ke dalam banjir

air matanya

Ya, tanpa bermaksud bersikap sentimentil dan hiperbolis, agaknya bangsa kita memang telah lama “memberhalakan” kekerasan setiap kali terjadi perubahan. Repotnya, kita gagal mengelola perubahan itu. Bahkan, disadari atau tidak, perubahan telah membawa implikasi bergesernya nilai-nilai luhur baku, sehingga kita (nyaris) gagal menciptakan atmosfer kebangsaan yang lebih visioner dan manusiawi. Terjadilah siklus kekerasan yang terus berulang pada setiap dimensi ruang dan waktu. Haruskah kita kalah dengan keledai yang tidak mau terperosok ke dalam lubang yang sama?

Tapi, sudahlah. Kita memang hanya bisa berharap agar negeri ini bisa menjadi sebuah “Indonesia Baru” tanpa kekerasan dan diskriminasi. Kita juga sudah terlalu capek dan lelah cakar-cakaran dengan sesama bangsa sendiri. Untuk menimbulkan efek jera, kita juga perlu terus melakukan pressure kepada pemerintah untuk mengusut tuntas para pelaku kejahatan kemanusiaan yang jelas-jelas telah meruntuhkan basis-basis kemanusiawian kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat. ***

Read Full Post »

women-violenceKetika seorang Badui Arab bertanya kepada Aisyah, bagaimana akhlak Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga? Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, “Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.”

Pada kesempatan yang lain, Aisyah sungguh terkejut ketika menjelang subuh, Aisyah tidak menemukan suaminya berada di sampingnya. Ketika keluar membuka pintu, Aisyah terkejut. Dia melihat Rasulullah tidur di depan pintu. Dalam keterkejutannya, Aisyah bertanya, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.”

Sungguh, betapa indahnya kehidupan rumah tangga ketika seorang kepala keluarga bisa meneladani sikap Rasulullah, bagaimana seharusnya seorang suami mesti memperlakukan istrinya. Amat kontras dengan kehidupan keluarga masa kini yang tak jarang diwarnai dengan atmosfer kekerasan. Sudah terlalu sering kita menyimak berita kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang pecah akibat perlakuan tak terpuji sang suami.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa seorang istri seringkali juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap istri berlangsung setiap saat, fenomena KDRT semacam itu tak jarang diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggung jawab pribadi dan istri diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab, baik itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial maupun mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.

Kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar untuk menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga. Kaum perempuan seringkali diajarkan dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya sendiri. KDRT seakan-akan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu keadaan yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama maupun wilayah.

Sungguh, andai saja kaum lelaki bisa ”berkiblat” pada akhlak Rasulullah ketika memperlakukan istrinya, bisa jadi tak akan ada KDRT di muka bumi ini. ***

Read Full Post »

pemiluBisa jadi benar kalau ada yang mengatakan bahwa tahun 2009 adalah tahun politik buat bangsa kita. Pada tahun itulah para politikus ditengarai akan menggenjot dan menguras naluri politiknya untuk melakukan proses tawar-menawar. Apalagi kalau bukan tawar-menawar kepentingan. Siapa menguntungkan siapa agaknya akan menjadi jurus paling jitu bagi politisi dalam mewujudkan ambisi dan mimpi-mimpinya.

Karena yang menjadi mainstream politik adalah kepentingan, dengan sendirinya akan terjadi pertarungan antarkelompok kepentingan jauh sebelum pemilu tiba. Masa-masa kampanye dinilai sebagai masa-masa paling rawan. Mobilisasi massa dalam bentuk pawai atau arak-arakan, meski jelas-jelas dilarang, agaknya masih menjadi pilihan bagi seorang politikus dalam upaya melakukan unjuk kekuatan. Dari sinilah awal pertarungan kepentingan itu dimulai.

Ya, ya, ya! Sesungguhnya bangsa kita sudah sangat kenyang pengalaman dalam menggelar kampanye. Putaran ajang pesta demokrasi lima tahunan itu idealnya bisa memberikan jaminan fatsun dan kearifan politik bagi kaum elite politik kita. Namun, agaknya nilai-nilai semacam itu telah jauh ditinggalkan. Situasi kampanye yang tegang dan sarat intrik seringkali mewarnai atmosfer pra-pemilu. Kaum politisi kita tak segan-segan membuang banyak dhuwit demi memenuhi hasrat politiknya. Tak jarang, para simpatisan sebuah parpol gontok-gontokan dengan simpatisan lain yang dianggap tidak sealiran. Yang lebih repot, persoalan politik sering dikait-kaitkan dengan masalah agama dan keyakinan.

Dalam atmosfer “chaos” semacam itu tak jarang muncul para petualang yang sengaja mengambil keuntungan pribadi dan kelompoknya. Nah, kemunculan para petualang politik semacam inilah yang perlu diwaspadai. Para pelaku politik harus ekstra-hati-hati dalam menempuh siasat dan strategi agar tak sampai terjebak dalam situasi yang tak menentu. Namanya saja petualang politik, mereka akan bermain jika mendapatkan peluang dan kesempatan.

Para politisi kita seharusnya bisa mengambil banyak pelajaran berharga dari sosok Barack Obama. Berkat kejeliannya dalam memanfaatkan jaringan dan komunitas maya, dia sukses memperkenalkan visi dan misi politiknya sehingga dikenal banyak kalangan. Dia tak segan-segan merangkul kalangan dari berbagai lapisan untuk bersama-sama melakukan sebuah perubahan. Tanpa melakukan show of force dan mobilisasi massa, masyarakat Amerika justru memilihnya sebagai sosok pemimpin Paman Sam yang diyakini benar-benar akan menjadi ikon dan simbol perubahan ketika saat-saat krisis global itu berkecamuk.

Dalam konteks Indonesia, memang jurus-jurus Obama tak bisa diaplikasikan sepenuhnya dalam realitas politik di negeri ini. Sebagian besar masyarakat kita tinggal di daerah pedesaan yang mash minim aksesnya terhadap internet. Meski demikian, tak ada salahnya kalau sasaran massa yang dituju adalah kalangan klas menengah ke atas, kaum politisi kita tak segan-segan menggunakan internet sebagai media komunikasi politik. Pemanfaatan media maya dalam konteks politik negeri kita juga diharapkan dapat mengeliminir munculnya para petualang dan broker politik untuk bermain. Nah, mengapa era digital ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh kaum politisi kita? ***

Read Full Post »

Entah dari mana dan sejak kapan budaya pemberian award kepada sesama bloger itu dimulai. Sejak awal ngeblog sekitar setahun yang lalu, budaya semacam itu agaknya sudah muncul, meski dengan tampilan dan wujud yang berbeda. Saya pribadi menganggap pemberian award semacam ini merupakan wujud apresiasi kepada sesama bloger untuk membangun semangat persahabatan dan silaturahmi. Dari budaya semacam ini, suasana kompleks blogosphere jadi lebih dialogis dan interaktif dengan saling memberikan tautan balik, sehingga budaya saling berkunjung dan silaturahmi secara maya bisa lebih terbangun dengan baik.

kurniaBegitulah, secara tak terduga, saya mendapatkan award dari empat sahabat bloger, yakni dari Mas Kurnia, Mbak Putri, Mas Fajar, dan Mas Zoel, yang belum pernah saya temui di darat. Tentu saja, saya senang mendapatkan award semacam itu, hehehe …. Setidaknya, bisa menjadi indikator bahwa kehadiran saya di dunia maya sudah mereka kenal *halah*. Namun, sebelumnya mohon maaf kepada sahabat-sahabat bloger yang telah berkenan memberikan award itu. Postingannya bukan saya muat di blog sawali.info, melainkan di blog ini. Alasannya, selain baru saja memosting tentang Refleksi Menjelang Hari Guru 2008, saya juga pernah memosting soal tag award di sawali.info. Alasan lain, saya juga numpang promosi untuk blog ecek-ecek yang baru ini, berkat jasa baik dari deteksi.info yang telah memberikan layanan hosting gratis. Sekali lagi mohon maaf jika kurang berkenan.

putri

Seperti halnya isi postingan teman-teman yang telah memberikan award itu, saya akan sedikit memaparkan latar belakang titel blog, tagline, dan jenis tampilannya. Yap, semula, saya menamai blog ini dengan Mendaki Pelangi dengan tagline menatap matahari. Namun, setelah saya renungkan *halah* agaknya pilihan kata “mendaki” kurang begitu cocok dengan makna harfiahnya, sehingga saya ganti menjadi “Meniti Pelangi”.

Mengapa mesti Pelangi? Ya, ya, ya. Sejak kecil, saya suka pelangi. Warna-warni “Mejikuhibiniu”-nya indah. Lagu “Pelangi” sungguh menginspirasi saya hingga sekarang bahwa dunia memang penuh warna. Jika dipadukan dengan baik akan mampu menghasilkan paduan dan komposisi warna yang indah dan eksotis. Itulah sesungguhnya kenyataan sosial yang tak terbantahkan di negeri ini. Ibarat pelangi, bangsa kita memiliki kekayaan etnis yang luar biasa. Dari ujung Barat hingga ujung Timur, dari Utara hingga Selatan, setiap daerah memiliki kekayaan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang berbeda. Jika potensi etnik dan sosial ini bisa dipadukan dengan baik, pasti akan memberikan warna Indonesia yang lebih indah dan eksotis, bukannya menjadi pemicu konflik dan kekerasan berbasiskan sentimen kesukuan atau unsur-unsur primordial lainnya.

fatar

Mengapa pula menggunakan kata “Matahari”? Ya, bagi saya, matahari adalah simbol harapan. Dengan menatap matahari, kita akan memiliki optimisme hidup. Kita masih memiliki harapan untuk bisa hidup berdampingan secara damai di tengah perbedaan etnis dan latar belakang sosial. Nah, kelahiran blog ini, sesungguhnya terilhami dari situasi semacam itu. Isinya hanya berupa pemikiran-pemikiran naif saya soal hidup dan kehidupan yang terbagi dalam kategori: religi, sosial, budaya, refleksi, edukasi, blog, dan sastra.

Mengenai tampilan, saya memang pengagum berat desainer Brian Gardner. Produk-produk Revolution Theme-nya, menurut saya, nyaman dilihat, enteng loadingnya, dan gampang dioprek. Latar home dan post, saya cenderung menyukai warna putih terang, sehingga pembaca tak perlu repot menekan tombol ctrl+ ketika membacanya, hiks.

Nah, sekarang, kira-kira siapa yang harus menerima award ini berikutnya? Aduh! Mohon maaf, saya tidak mau membebani sahabat-sahabat bloger. Pemberian award semacam ini sesungguhnya kan merupakan sebuah bentuk apresiasi. Saya khawatir lemparan award akhirnya justru akan menjadi beban karena mesti mengerjakan PR, hehehe …. Oleh karena itu, saya ingin memberikan award ini selanjutnya kepada sahabat-sahabat bloger yang pernah berkunjung di blog ecek-ecek ini, tanpa harus mengerjakan PR. Semata-mata hanya merupakan bentuk apresiasi saya terhadap sahabat-sahabat maya yang telah berkenan meninggalkan jejak komentar di blog ini.

Berikut ini adalah nama-nama bloger yang pernah meninggalkan jejak komentar di blog ini sehingga sangat layak untuk mendapatkan lemparan award selanjutnya.

abdal malik | achmad sholeh | afwan auliyar | Anang | andif | Andy MSE | Ardy Pratama | aRuL | Benny | Bu Any | cah sholihah | ciwir | dadan | Daniel Mahendra | dikma | EEng | endar | gajah_pesing | Gelandangan | genthokelir | goenoeng | hendra | heri | ibnukus | isnuansa | konsultasi kesehatan | mantan kyai | marshmallow | marsudiyanto | Mas Koko | masarif | mascayo | masDan | maseko | Masenchipz | mikekono | nico kurnianto | omahseta | Rajawali kecil | rezki | rian | rochmaniac | Ronggo | spydeeyk | Suwahadi | suwung | Timun | Toga | utchanovsky | wahyubmw | Wongbagoes |

Mohon maaf jika ada yang lupa saya sebut. Terima kasih dan salam kreatif! ***

Read Full Post »

Usai sudah drama eksekusi itu. Minggu dini hari (9 November 2008), pukul 00.00 WIB, tiga anak muda –Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra (A2I)—yang selama ini dikenal sebagai mujahid oleh keluarga dan para pengagumnya itu akhirnya menghembuskan napas yang terakhir. Tiga butir serbuan timah panas yang digelontorkan oleh regu tembak Satuan Brimob Polda Jawa Tengah telah cukup membuat roh mereka terpisah dari jasad. Lembah Nirbaya Nusakambangan menjadi saksi kematian tragis yang menimpa terpidana mati Bom Bali I itu.

a2i

Berita itu dengan cepat tersebar ke seantero dunia. Kemajuan teknologi agaknya telah mampu mengendus berbagai peristiwa yang tersembunyi di kolong yang tak tercantum dalam peta sekalipun dengan begitu cepat. Moncong-moncong piranti teknologi telah sanggup memendekkan jarak secara lintas geografis.

Kita tak tahu pasti bagaimana perasaan publik dunia begitu mendengar berita tragis itu. Siapa pun orangnya, pasti tak menginginkan kematian semacam itu. Nyawa senantiasa berada di bawah ancaman moncong senjata. Kita juga tidak tahu, bagaimana perasaan A2I begitu mendengar vonis eksekusi. Senang dan bahagia? Atau justru gelisah dan stress? Wallahu’alam.

Namun, melihat wajah A2I yang masih sanggup tersenyum sumringah menjelang ajal menjemput, sepertinya mereka tak terlalu risau. “Doktrin jihad” yang mereka yakini sebagai jalan kebenaran, agaknya telah membuat mereka mengalami puncak ekstase dalam proses menuju kematian.

Ya, ajal, memang bisa datang kapan dan di mana saja. Tanpa pandang bulu. Bisa jadi, ajal dirahasiakan Tuhan agar manusia selalu siap untuk menyongsongnya sehingga berbalik jalan menuju “jalur lurus”. Dalam konteks ini, A2I mungkin termasuk “beruntung” karena bisa dengan jelas mengikuti detik-detik kematiannya. Sebelum tubuhnya roboh mencium tanah akibat tikaman timah panas, bisa jadi mereka telah menyiapkan bekal menuju ke alam keabadian dengan cara membersihkan diri dari tumpukan dosa yang mungkin pernah mereka lakukan. Mereka bisa saja menangis ketika ingat bom yang diledakkannya di Bali ternyata berdampak luas. Tak hanya korban yang meninggal, tapi juga mereka yang mengalami trauma berkepanjangan.

Namun, sekali lagi kita juga tak tahu, apakah vonis eksekusi telah membuat A2I terbuka ruang kesadarannya untuk mencintai sesama? Apakah inti makna rahmatan lil’alamiin yang memancarkan semangat kedamaian dan kerukunan hidup benar-benar telah diucapkan secara lisan, diyakini dalam hati, dan diamalkan dalam segala sikap dan perilaku menjelang ajal tiba? Kita hanya bisa berharap semoga tak lagi muncul kekerasan dengan dalih dan motif apa pun. ***

Read Full Post »

Ancaman

Cerpen Sawali Tuhusetya

Jam di tembok ruang tamu menunjuk angka 08.30 pagi. Miranti terkesiap ketika tiba-tiba saja seorang lelaki –entah dari mana datangnya—sudah berdiri di depan pintu. Tubuhnya kurus. Dekil. Rambutnya gondrong acak-acakan. Pakaiannya lusuh. Matanya yang kuning kemerahan menyorot liar. Daraha Minranti mendesir. Ia letakkan koran yang barusan dibacanya ke atas meja.

“Selamat pagi, Nyonya!” sapa lelaki itu tersenyum. Tampak deretan giginya yang kotor. Mulutnya seperti menyemburkan hawa busuk. Miranti tergagap. Tenggorokannya tercekat seperti ada beban yang menyumbatnya. Napasnya sesak. Dadanya naik-turun.

Miranti tercenung. Siapa tahu lelaki yang berdiri di depan pintu itu seorang mata-mata perampok atau bahkan seorang perampok yang nekad ingin menjarah rumahnya. Siapa dapat menjamin kalau lelaki itu orang baik-baik? Siapa pula dapat menebak gelagat yang menyembul di dada lelaki itu? Bisa-bisa saja ia menyeruak masuk rumah; menguras perhiasan, duit, teve, atau harta berharga lainnya. Bahkan, bukan tidak mungkin malah merampas nyawanya. Miranti bergidig. Keringat dingin tiba-tiba meleleh di tengkuk dan jidatnya. Cemas! Ia hanya sendirian di rumah bersama Bik Supiyah yang tua tak berdaya. Kepada siapa ia harus minta tolong? Pada saat-saat seperti ini, kampungnya memang sepi. Para lelaki –termasuk suaminya—mungkin tengah terlibat dalam kesibukan kerja rutin. Anak-anak belajar di bangku sekolah. Kampung hanya dihuni ibu-ibu rumah tangga berikut pembantu. Sesekali melintas seorang pemulung atau penjual sayur. Rasa takut mendadak menyerbu dadanya.

Belakangan ini, seperti yang ia baca dari koran, aksi para perampok memang sudah kelewatan. Tak peduli lagi waktu, tempat, dan sasaran. Barusan ia juga baca, seorang nasabah bank harus menjadi korban perampokan hanya dalam jarak 100 meter dari tempat satpam bertugas. Celakanya lagi, dari jarak 500-an meter, satu regu polisi tengah berbaris menerima indtruksi komandan. Dan nasabah itu akhirnya tewas dengan kepala tertembus peluru sang perampok. Sungguh mengerikan!

Kemarin, ia juga membaca, beberapa perampok beraksi dalam sebuah bus yang melaju kencang di tengah kota. Sopirnya diancam dengan kalungan clurit. Barang milik penumpang dijarah. Dua penumpang yang nekad melawan mengalami luka parah terkena sabetan clurit sebelum akhirnya sekarat meregang nyawa. Darah muncrat di kaca bus. Para penumpang menjerit ketakutan.

Kemarin lusa dan kemarinnya lagi, Miranti juga membaca berita perampokan di toko emas, di pasar swalayan, di rumah penduduk, dan di tempat-tempat lain yang menjanjikan kerincing duit. Hampir setiap hari, koran selalu berwarna merah oleh darah para korban perampokan. Miranti semakin bergidig, cemas, dan takut. Tiba-tiba saja, hidungnya mencium bau kematian. Peluh dingin semakin berleleran di permukaan kulitnya yang halus.

“Dalam wujud saya seperti ini, saya percaya Nyonya sudah lupa dengan saya!” sergah lelaki kurus itu yang kini sudah duduk di hadapan Miranti. Wanita bertubuh sintal itu tersentak. Gugup. Ia ingin secepatnya lari dari tatapan liar lelaki dekil itu.

“ Saudara jangan pura-pura mengenalku! Lebih baik saudara segera pergi dari rumahku sebelum aku terlebih dahulu mengusir saudara!” sahut Miranti mencoba memberanikan diri dengan nyali yang dikumpulkan di tengah kecemasan dan ketakutannya. Lelaki itu menyeringai seperti serigala lapar yang ingin menerkam mangsanya.

“Baik, saya akan segera pergi! Tapi tunggu dulu! Tidakkah nyonya ingin berkenalan dengan saya?”. Miranti gusar. Sorot mata lelaki itu semakin liar saja. Miranti merasa muak.

“Cepat katakan!”

“Sabar dulu, Nyonya! Pertanyaan Nyonya hanya sebatas itu dan tak ingin mencoba mengenali saya?”

Mata Marini melotot. Ia merasa dipermainkan. Andai saja punya kekuatan untuk menabrak lelaki dekil itu, pastilah tangan atau kakinya melayang, menggebug lelaki kurus itu.

“Baiklah Nyonya! Tampaknya Nyonya lebih mementingkan maksud kedatangan saya ketimbang mengenal siapa saya! ucap lelaki itu dengan nada tinggi. “Saat ini juga saya mohon Nyonya berkenan menyediakan uang dua juta!” Miranti tertegun. Dugaannya benar. Lelaki itu tak lebih dari seorang penjahat tengik.

“Gila! Segampang itukah saudara menodongku? Huh! Lebih baik saudara angkat kaki secepatnya sebelum lebih dulu polisi menangkap saudara!” Miranti berdiri. Kecemasan dan ketakutannya menggumpal menjadi rasa muak. Cepat-cepat ia mengangkat gagang telepon. Tapi belum sempat menemukan nomor telepon, lelaki kurus itu berjingkat membuntutinya. Tangan kurusnya melolos sebuah belati tajam.

“Saya ingin tahu apakah jari tangan Nyonya masih punya kekuatan untuk menekan nomor telepon!” desis lelaki kurus itu sembari menempelkan belati di leher Miranti. Wajah Miranti memucat. Tangannya gemetar. Gagang telepon yang dipegangnya luruh dengan sendirinya. Matanya nanar. Ia mengalami ancaman serius. “Sedikit saja bergerak, leher Nyonya putus! Saya terpaksa nekad, sebab Nyonya tidak berusaha mengenal siapa saya!”

Pikiran Miranti gusar. Bik Supiyah yang diharapkan mampu meringankan beban yang menindih batinnya hanya bisa ngungun di ruang dapur. Mata perempuan tua itutampak berkaca-kaca. Ia tak bisa memahami betapa selalu saja ada manusia yang ingin menguasai manusia lainnya

“Baiklah! Tapi turunkan dulu senjatamu!” rintih Miranti ketakutan. Belati luruh pelan-pelan. Miranti merasa lega. “Siapa sebenarnya saudara?”

“Saat ini pertanyaan itu menjadi tidak begitu penting! Cepat ambil uang itu!” gertak lelaki kurus yang tiba-tiba bagaikan sosok iblis yang menyimpan kekejaman tak terduga.

Miranti segera menerobos kamar dengan kecemasan yang menyergap dadanya. Sejurus kemudian, tangannya sudah menggenggam segepok uang. Lelaki kurus dekil yang menunggu di dekat pinti kamar itu yersenyum sinis. Menyeringai. Gigi kotornya menyembul. Rambutnya yang gondrong acak-acakan sesekali dikibaskannya.

“Sekarang juga angkat kaki! Dan jangan sekali-kali menjamah lantai rumahku!” hardik Miranti. Lelaki kurus itu menciumi segewpok duit di tangannya.

“Baik, Nyonya! Tapi jangan harap Nyonya bisa mencegahku untuk tidak kembali lagi menginjak rumah ini!” sahut lelaki itu sambil berdiri. “Dan ingat! Nyonya jangan mencoba lapor kepada siapapun, termasuk kepada suami Nyonya sendiri jika ingin selamat dari sekapan penjara!” lanjut lelaki dekil itu sebelum tubuhnya lenyap dari hadapan Miranti yang tergeragap. Kata-kata bernada ancaman itu dirasakan seperti berondongan peluru yang hendak meledakkan jantungnya. Penjara? Bukankah seharusnya dia yang layak tersekap di penjara lantaran telah memerasnya? Benak Miranti dihujani pertanyaan bertubi-tubi yang tak sanggup dijawabnya.

***

Sepekan kemudian, lelaki kurus itu datang lagi. Namun sudah tampil beda. Rambutnya yang sudah terpotong rapi. Wajahnya bersih. Pakaian yang dikenakannya tampak licin. Dada Miranti berdegup kencang.

“Bukankah saudara itu, Kirno?”

“Tepat sekali! Sayalah Kirno yang harus mengakui secara paksa dosa yang telah Nyonya lakukan. Sayalah Kirno yang dipaksa menjadi penghuni penjara enam tahun lamanya karena dituduh telah membunuh Rukmini, pembantu Nyonya!”

Mata Miranti tiba-tiba saja berubah nanar. Tubuhnya terasa beku. Beberapa saat lamanya, perempuan cantik itu seperti terperosok ke dalam pusaran air yang membetot kekuatannya. Limbung.

Kirno, lelaki kurus itu, seperti meraih kemenangan mutlak dalam sebuah pertandingan. Wajahnya berubah garang. Ia lolos belati tajam untuk mengerok kumisnya seperti sengaja menakut-nakuti Miranti. Di mata Miramti, Kirno tak ubahnya Malaikat Maut yang siap merengkut nyawanya. Entah apalagi yang hendak dilakukan Kirno terhadap dirinya. Tiba-tiba saja pandangan mata perempuan itu berputar-putar. Gelap. Wajah Rukmini –pembantu yang dibunuhnya akibat kepergok mencuri kalung—yang begitu tersiksa sesekali melintas lewat lorong benaknya yang kacau. Miranti ketakutan. Ngeri. Tak berdaya. ***

Read Full Post »